Tuesday, November 2, 2010

firasat seorang mursyid

FIRASAT SEORANG MURSYID
Oleh : KH. M. Abdul Gaos SM.
ceramah/khidmat manaqib tqn suryalaya november 2000


Dalam mankobah ke-37 : “Syaikh Ahmad Kanji menjadi murid Syaikh Abdul Qodir al-Jailani”, diterangkan begitu pekanya seorang Guru (Syaikh Abi Ishaq Maghribi) terhadap bathin muridnya (Syaikh Ahmad Kanji). Ini terlihat ketika terbersit dalam hatinya sebuah pertanyaan “Mengapa tarekat Syaikh Abdul Qodir al-Jaelani lebih disukai dibandingkan tarekat lainnya. Sehingga diantara pengamalnya ada yang paling pintar bahkan yang paling jahil pun ada”.

( Syaikh Abdul Qodir al-Jailani)

Semua yang terlintas di hati seorang murid terkontrol oleh sang Guru dikarenakan mempunyai firasat tajam serta pancaran nur dari Allah. Maka ketika itu syaikh Abi Ishak berkata : “Apakah engkau tahu martabat Syaikh Abdul Qodir al-Jailani ?. Sesungguhnya Syaikh Abdul Qodir itu memiliki 12 sifat. Yang apabila semua pepohonan dijadikan penanya serta lautan dijadikan tintanya dan ditulis oleh seluruh manusia serta jin, maka sampai habis usia manusia dan jin pun tidak akan tertulis walau hanya satu sifat pun. Dikarenakan ketinggian dan kedalaman sifat yang dimiliki Syaikh Abdul Qodir al-Jailani.

Setelah mendengar uraian tersebut, langsung Syaikh Ahmad Kanji tertarik untuk mempelajari tarekat Syaikh Abdul Qodir al-Jailani. Berbeda dengan yang terjadi di negara kita. Sikap seorang guru yang mewasiatkan kepada muridnya untuk mempersilahkan mengikuti manaqib tetapi melarang untuk mengamalkannya. Sehingga banyak yang sudah mengikuti manaqib tetapi tidak mau untuk di talqin dzikir akibat wasiat gurunya itu. Bahkan gurunya itu bersikap seperti yang disebutkan dalam surat Qaaf : 25 : “Yang sangat menghalangi kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu”.

Dia takut kehabisan alas, padahal Pangersa Abah tidak pernah mengambil alas. Beliau hanya diam di Pondok Pesantren Suryalaya dan tidak pernah mengaku mempunyai murid, bahkan hanya mengatakan :”Abah itu hanya mempunyai Ikhwan”. Begitulah cara berkelit seorang Guru Mursyid yang mempunyai murid tetapi tidak pernah diakui sendiri, semuanya hanya kepunyaan Allah.



(Syekh Shohibulwafa Tajul Arifin/Abah Anom Suryalaya)


(KH. M. Abdul Gaos SM/Ajengan Gaos)

Maka sampailah Ahmad Kanji di daerah Ajmir, sebagai seorang ahli wudhu begitu melihat mata air, beliau berwudhu lalu shalat dan beristirahat. Diantara keadaan bangun dan tidur ketika istirahat tesebut datanglah Syaikh Abdul Qodir al-Jailani.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa rahmat Allah akan lebih cepat bagi orang yang menginginkannya. Apabila seseorang berjalan menuju Allah, maka Allah akan lari kepadanya. Terlihat dengan cepatnya seorang Guru dalam menyambut calon muridnya. Oleh karena itu jika ada keinginan dalam hati untuk bertemu Guru, maka harus secepatnya jangan ditunda-tunda atau malahan sampai tidak jadi. Walaupun mendadak jatuh sakit ataupun jatuh miskin dan harus meminjam atau menjual sesuatu untuk dijadikan ongkos perginya. Bukan berarti ini Kultus Individu, tetapi ketika kita belajar tarekat, hal seperti ini adalah masalah ruh.

Selama ini banyak orang menafsirkan ayat : “Telah muncul kerusakan di darat dan di lautan”. Padahal ada makna yang lebih mendalam lagi yaitu telah muncul kerusakan di dalam jasad atau tubuh (darat) dan kerusakan di dalam hati (lautan). Buktinya banyak orang yang pakaiannya indah dan mewah tetapi hatinya rapuh dan keropos. Sebaliknya banyak juga orang yang pakaiannya kelihatan compang-camping tetapi hatinya kaya dan bahagia. Pangersa Abah ingin memelihara keseimbangan. Maka melaksanakan dua jenis dzikir, yaitu dzikir Jahar dan dzikir Khofi.
Dalam mankobah di atas Syaikh Ahmad Kanji dilarang oleh gurunya supaya tidak memikul kayu bakar karena kepalanya sudah dimahkotai. Ini bukan berarti melarang berusaha, tetapi justru supaya lebih meningkatkan usaha. Kalau dahulu dipikul, sekarang harus didorong, tadinya didorong sekarang harus memakai kendaraan.

Dalam istilah Pangersa Abah, “Belajar tarekat itu harus ada sesuatu yang bisa dilihat peningkatannya”. Istilah “Harus ada” disini kata guru karena Beliau tidak ujub bagi kita sebagai motivasi agar mau bekerja dan meningkatkan kualitas ilmu dengan membaca, lebih khusus lagi para Wakil Talqin ada maklumat Beliau agar mereka rajin membaca kitab karangan para ulama besar. Jangan sampai setelah melaksanakan tugas amaliah, langsung pulang padahal manaqib belum selesai. Atau ketika disuruh membaca Tanbih, malah menawar ingin ceramah. Sebenarnya kita itu harus selalu siap ditempatkan dimana saja oleh Guru, bahkan disuruh mencuci piringpun harus siap tidak perlu menawar. Malah justru yang meningkatkan diri kita itu harus Guru, bukan keinginan kita sendiri. Kita semua hanya niat berkhidmat saja.

“Sesuatu hasil yang bisa dilihat” adalah sebagai motivasi agar kita mau bekerja, hakikatnya sebagai suatu pernyataan bahwa siapa saja yang melaksanakan TQN PP. Suryalaya dengan sungguh-sungguh (enya-enya) akan tercapai kebaikan dzohir dan bathin. Modalnya setiap orang sama termasuk yang diberikan kepada Rasulullah SAW. yaitu talqin Dzikir sama seperti kita. Bedanya kita itu malah ada yang semakin redup cahayanya, bahkan hilang sama sekali dengan meninggalkan kebaikan manaqiban ataupun khotaman.

Seharusnya semakin berkembang sinarnya sehingga mampu menyinari kita, keluarga, tetangga, dan masyarakat. Manaqibnya semakin banyak dan khotamannya semakin rajin. Untuk sekedar menghadapi sakaratul maut saja alhamdulillah kita semua sudah memilikinya. Yang lebih penting adalah meningkatkan diri. Maka contoh dari Nabi SAW. jika mau berdzikir itu diperintahkan untuk menutup pintu dan bertanya apakah ada orang asing? Setelah itu pejamkan mata agar tidak ada sesuatu yang dilihat selain Allah SWT.

Banyak Ikhwan yang terkecoh dan terlena dengan keadaan. Bahwa dzikir itu harus menangis dan mengeluarkan air mata. 23 tahun yang lalu di Bogor ada seorang tokoh Ikhwan yang berkata : “Jika dzikir sudah nikmat bisa menangis”.Maka kami langsung berdiri dan berkata :”Kalau ciri dzikir nikmat itu menangis, maka saya akan berhenti dzikir TQN". Alasannya : Guru saya Pangersa Abah tidak pernah berdzikir sambil manangis atau berdo’a sambil menangis. Kalau nikmat dzikir seperti itu berarti saya berguru kepada orang yang tidak nikmat dzikirnya. Karena ciri dzikir nikmat itu bukan menangis. Adapun menangis bukan disengaja dan bukan tujuan, melainkan akibat tersentuh. Apabila tersentuh kenikmatan dzikir, maka akan khusyu serta mengeluarkan air mata akibat terbakar dosanya dan menyelam dalam lautan Allah. Itupun baru cirinya saja bukan tujuan kita.

sumber : suryalaya.org

No comments: